By: Sofyan Hadi As Sasaky, S.Pd.I
Umar bin Khaththab Memilih Putri Wanita Penjual Susu Sebagai Istri Bagi Anaknya
Inilah
al-Faruq, Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu! Ketika memilih putri
wanita penjual susu sebagai istri bagi anaknya, Ashim, dia tidak
mempertimbangkan keturunan ataupun nasab sedikit pun, dan tidak pula harta
maupun kedudukan. Melainkan pertimbangannya satu-satunya adalah apa yang
diperlihatkan oleh gadis baik itu, berupa iman kepada Allah dan selalu merasa
diawasi olehNya, ketika sendiri dan ketika di mata umum, serta keyakinan bahwa
tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah ‘Azza wa Jalla, hingga ia
mencapai tingkatan ihsan dalam ibadahnya padahal dia adalah gadis yang
kondisinya menyedihkan, miskin kedudukan dan harta, di mana dia beribadah
kepada Allah seolah-olah melihatNya, dan kendati pun dia tidak melihatNya, maka
Dia melihatnya.
Suatu
malam, al-Faruq radhiallahu ‘anhu memeriksa kondisi rakyat. Tiba-tiba,
ia mendengar suara seorang wanita berkata kepada putrinya, “Campurlah susu itu
dengan air.”
Gadis
itu menjawabnya, “Wahai ibuku! Tidakkah engkau mengetahui apa yang ditekankan
Amirul Mukminin?”
Wanita
itu berkata, “Apa yang ditekankan olehnya, wahai putriku?”
Dia
berkata, “Dia memerintahkan penyerunya untuk berseru, ‘Jangan (mencampur) susu
dengan air’.”
Wanita
itu berkata, “Campurlah susu itu dengan air, lalu campurlah ia dengan air,
sesungguhnya kamu berada di sebuah tempat yang kamu tidak akan dilihat oleh
Umar, dan tidak pula penyeru Umar.”
Dengan
tangkas gadis itu menyanggah, “Wahai ibuku! Jika Umar tidak tahu, maka sungguh,
Rabb Umar mengetahui. Demi Allah! Aku tidak akan menaatiNya di depan umum lalu
mendurhakaiNya di kala sendiri.”
Pagi
harinya, Umar radhiallahu ‘anhu berkata kepada putranya, Ashim,
“Pergilah ke tempat ini, sesungguhnya di sana terdapat seorang gadis. Jika ia
tidak sibuk, nikahilah dia. Semoga Allah menganugerahimu kelembutan yang
diberkahi darinya.”
Tepat
sekali firasat al-Faruq radhiallahu ‘anhu. Ashim menikahi gadis itu dan
memberinya anak, Ummu Ashim, yang kemudian dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan
dan memberinya anak, Umar bin Abdul Aziz, sang pemimpin yang adil, semoga Allah
Ta’ala merahmati dan meridhainya.[1]
Kisah Julaibib dan Pengantin Perempuan
Adalah
seorang laki-laki dari sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bernama
Julaibib. Wajahnya tidak begitu menarik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam menawarinya menikah. Dia berkata (tidak percaya), “Kalau begitu,
Anda menganggapku tidak laku?”
Beliau
bersabda, “Tetapi kamu di sisi Allah bukan tidak laku.”
Dan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa terus mencari kesempatan
untuk menikahkan Julaibib…
Hingga
suatu hari, seorang laki-laki dari Anshar datang menawarkan putrinya yang janda
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau menikahinya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya,
“Ya.
Wahai fulan! Nikahkan aku dengan putrimu.”
“Ya,
dan sungguh itu suatu kenikmatan, wahai Rasulullah,” katanya riang.
Namun
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Sesungguhnya aku
tidak menginginkannya untuk diriku…”
“Lalu,
untuk siapa?” tanyanya.
Beliau
menjawab, “Untuk Julaibib…”
Ia
terperanjat, “Julaibib, wahai Rasulullah?!! Biarkan aku meminta pendapat
ibunya….”
Laki-laki
itu pun pulang kepada istrinya seraya berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam melamar putrimu.”
Dia
menjawab, “Ya, dan itu suatu kenikmatan…”
“Menjadi
istri Rasulullah!” tambahnya girang.
Dia
berkata lagi, “Sesungguhnya beliau tidak menginginkannya untuk diri beliau.”
“Lalu,
untuk siapa?” tanyanya.
“Beliau
menginginkannya untuk Julaibib,” jawabnya.
Dia
berkata, “Aku siap memberikan leherku untuk Julaibib… ! Tidak. Demi Allah! Aku
tidak akan menikahkan putriku dengan Julaibib. Padahal, kita telah menolak
lamaran si fulan dan si fulan…” katanya lagi.
Sang
bapak pun sedih karena hal itu, dan ketika hendak beranjak menuju Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, tiba-tiba wanita itu berteriak memanggil ayahnya dari
kamarnya, “Siapa yang melamarku kepada kalian?”
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam,” jawab keduanya.
Dia
berkata, “Apakah kalian akan menolak perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam?”
“Bawa
aku menuju Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh, beliau
tidak akan menyia-nyiakanku,” lanjutnya.
Sang
bapak pun pergi menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya
berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, terserah Anda.
Nikahkanlah dia dengan Julaibib.”
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menikahkannya dengan Julaibib, serta
mendoakannya,
“Ya
Allah! Limpahkan kepada keduanya kebaikan, dan jangan jadikan kehidupan mereka
susah.”
Tidak
selang beberapa hari pernikahannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
keluar dalam peperangan, dan Julaibib ikut serta bersama beliau. Setelah
peperangan usai, dan manusia mulai saling mencari satu sama lain. Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bertanya kepada mereka, “Apakah kalian kehilangan
seseorang?” Mereka menjawab, “Kami kehilangan fulan dan fulan…”
Kemudian
beliau bertanya lagi, “Apakah kalian kehilangan seseorang?” Mereka
menjawab,“Kami kehilangan si fulan dan si fulan…”
Kemudian
beliau bertanya lagi, “Apakah kalian kehilangan seseorang?” Mereka
menjawab,“Kami kehilangan fulan dan fulan…”
Beliau
bersabda, “Akan tetapi aku kehilangan Julaibib.”
Mereka
pun mencari dan memeriksanya di antara orang-orang yang terbunuh. Tetapi mereka
tidak menemukannya di arena pertempuran. Terakhir, mereka menemukannya di
sebuah tempat yang tidak jauh, di sisi tujuh orang dari orang-orang musyrik.
Dia telah membunuh mereka, kemudian mereka membunuhnya.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri memandangi mayatnya, lalu
berkata,“Dia membunuh tujuh orang lalu mereka membunuhnya. Dia membunuh tujuh
orang lalu mereka membunuhnya. Dia dari golonganku dan aku dari golongannya.”
Lalu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membopongnya di atas kedua
lengannya dan memerintahkan mereka agar menggali tanah untuk menguburnya.
Anas
bertutur, “Kami pun menggali kubur, sementara Julaibib radhiallahu ‘anhu
tidak memiliki alas kecuali kedua lengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam, hingga ia digalikan dan diletakkan di liang lahatnya.”
Anas
radhiallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah! Tidak ada di tengah-tengah orang
Anshar yang lebih banyak berinfak daripada istrinya. Kemudian, para tokoh pun
berlomba melamarnya setelah Julaibib…”
Benarlah, “Dan barangsiapa yang taat kepada
Allah dan RasulNya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepadaNya, mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat kemenangan.”(An-Nur: 52).
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda, sebagaimana dalam
ash-Shahih,“Setiap umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang engan itu?” Beliau bersabda,
“Barangsiapa taat kepadaku, maka ia masuk surga, dan barangsiapa mendurhakaiku
berarti ia telah enggan.”[2]
Kisah Pernikahan Abu Wada’ah, Menantu Seorang Tokoh Tabiin Sa’id Bin Musayyib
Ini adalah sebuah kisah pernikahan yang sangat
indah di jamannya, kisah pernikahan antara puteri seorang ulama besar tokoh
tabi’in Madinah yang bernama Al imam Asy-syaikh Sa’id bin Musayyib Rahimahullah
dengan seorang pemuda salah satu dari muridnya yang bernama Abu Wada’ah.
Seorang Syaikh yang dengan berani menolak
pinangan Amirul Mukminin Abdul Malik bin marwan yang raja-raja romawi gentar
pada wibawanya, untuk dinikahkan dengan putranya yang bernama Al walid bin
Abdul Malik.
Pernah ada seseorang yang bertanya
kepadanya,” Mengapa kau tolak pinangan Amirul Mukminin lalu kau nikahkan
puterimu dengan orang awam, mengapa ?
Syaikh itupun menjawab : “Puteriku adalah
amanat di leherku, maka kupilihkan apa yang sesuai untuk kebaikan dan
keselamatan dirinya. “
“Apa maksud pernyataan itu wahai syaikh,
?” Bagaimana pandangan kalian bila misalnya puteriku pindah di istana Bani
Umayyah lalu bergemilang di antara ranjang dan perabotannya? Para pembantu
mengelilingi disisi kanan dan kirinya, dan dia mendapati dirinya menjadi isteri
dari seorang Khalifah. Bagaimana keteguhan agamanya nantinya ?” jawab syaikh
tersebut.
Inilah seorang Syaikh yang menjadikan
dunianya sebagai kendaraan dan perbekalannya untuk akhiratnya. Dia membeli
untuk dirinya dan keluarganya akhirat dengan dunianya.
Abu Wada’ah adalah seorang penuntut ilmu
yang gigih dan senantiasa selalu hadir dalam halaqoh Asy-syaikh Sa’id bin
Musayyib Rahimahullah di Masjid Madinah Al Munawarah, aku adalah orang yang
suka mensikut orang-orang sambil berdesak-desakan dalam majelis tersebut, demi
memperoleh ilmu yang disampaikan oleh syaikh Sa’id bin Musayyib Rahimahullah.
Akan tetapi suatu ketika dalam beberapa
hari aku tidak dapat menghadiri halaqoh tersebut karena suatu hal yaitu musibah
yang telah datang mengenai keluargaku dengan kematian isteriku. Aku mengurusi
semuanya sampai selesai urusan tersebut.
Hingga Asy-syaikh Sa’id bin Musayyib
Rahimahullah mencari kesana kemari, tentang kabar dariku, dan tiada hasil yang
beliau dapatkan.
Setelah aku kembali ke halaqoh ilmunya,
maka dengan serta merta, Syaikh tersebut menyapa dan menyalamiku sambil
menanyakan kemana perginya selama ini, maka aku menjelaskan hal ihwal tentang
keberadaanku selama itu bahwasanya isteriku telah meninggal dunia dan aku sibuk
untuk mengurusinya.
Maka syaikh, berkata, “ Kalau saja engkau
memberitahu aku, Yaa Aba Wada’ah, tentunya aku akan menghiburmu, menghadiri
jenazahnya, dan membantu segala kesulitanmu.”
“Terima kasih atas perhatianmu yaa
syaikh,” jawab Abu Wada’ah.
Ketika hendak berlalu pulang, Syaikh Sa’id bin
Musayyib Rahimahullah mencegahnya dan memintanya untuk menunggu sampai semua
orang yang ada di majelis itu pulang, lalu katanya, “ Apakah engkau sudah
berfikir untuk beristeri lagi, yaa Aba Wada’ah?”
“Allah Ta’ala merahmati anda yaa syaikh,
siapa gerangan yang mau menikahkan puterinya dengan diriku, sedang aku adalah
seorang pemuda yang lahir dalam keadaan yatim dan hidup dalam kefakiran. Yang
kumiliki tak lebih dari beberapa dirham saja. “ Kata Abu Wada’ah.
“Aku akan menikahkanmu dengan puteriku.”
Abu Wada’ah menjadi bingung dan terheran-heran, “Anda yaa Syaikh ? Anda hendak
menikahkan puteri anda denganku padahal anda sudah tahu persis keadaan diriku
seperti apa ?”
“Ya benar. Bila seorang datang kepada
kami dan kami suka kepada agama serta akhlaqnya, maka akan kami nikahkan.
Sedangkan engkau dimata kami termasuk orang yang agama dan akhlaqnya kami
sukai, “ Jawab syaikh Sa’id bin Musayyib Rahimahullah.
Lalu Syaikh berpaling kepada orang yang
berdekatan dengan kami berdua, kemudian dipanggilnya. Begitu mereka datang dan
berkumpul di sekeliling kami, syaikh kemudian bertahmid, dan bersholawat bahkan
langsung menikahkan Abu Wada’ah dengan puterinya serta menjadikan tiga dirham
yang dimiliki Abu Wada’ah sebagai maharnya. Sejenak Abu Wada’ah terpaku tak
tahu harus berkata apa-apa karena heran dan bercampur gembira, kemudian dia
bergegas pulang. Saat itu Abu Wada’ah sedang berpuasa hingga dia lupa kalau
dirinya berpuasa. Dia berkata pada dirinya sendiri, “ Sungguh keterlaluan
engkau ini yaa Aba Wada’ah, apa yang engkau perbuat dengan dirimu ? kepada
siapa engkau akan meminjam uang untuk keperluanmu ? kepada siapa pula engkau
akan meminta uang itu ?”
Abu Wada’ah berada dalam keadaan seperti
itu sampai waktu maghrib pun tiba. Setelah ia menunaikan kewajibannya, ia duduk
untuk menyantap makanannya, yang terdiri dari roti dan minyak. Habis satu dua
suapan, mendadak terdengar ketukan dipintunya. Abu Wada’ah bertanya dari dalam,
“ Siapa ?”
“Sa’id “
Demi Allah, langsung terlintas dalam
benaknya setiap nama sa’id yang ia kenal, kecuali Sa’id bin Musayyib, sebab
selama 20 tahun orang ini tidak pernah terlihat antara rumahnya dengan masjid
nabawi.
Maka dibukakan pintu rumahnya, di depannya
berdiri seorang Imam Asy-syaikh Sa’id bin Musayyib. Dia menduga bahwa Syaikh
tersebut menyadari ketergesaannya dalam menikahkan puterinya lalu datang untuk
membicarakan hal tersebut kepadanya. Oleh sebab itu Abu Wada’ah segera berkata,
“Wahai Aba Muhammad, mengapa engkau tidak menyuruh seseorang saja untuk
memanggilku ?”
“Tidak, engkaulah yang harus didatangi. “
“Penghargaan bagiku ?”
“Tidak, sebenarnya aku datang untuk
masalah penting. “
“Apa yang engkau kehandaki yaa Syaikh ?
Allah merahmati anda. “
“Sesungguhnya puteriku sudah menjadi
isterimu, berdasarkan atas agama ini. Maka aku tidak senang membiarkanmu berada
ditempatmu, sedangkan isterimu berada ditempat lain. Oleh sebab itu kubawa dia
sekarang, “
“Anda membawanya kemari ?”
“Benar. “
Lalu Abu Wada’ah melihat isterinya itu
berdiri di belakang Syaih tersebut. Syaikh kemudian berpaling dan berkata
kepada puterinya, “ Masuklah kerumah suamimu dengan nama dan berkah Allah wahai
puteriku, “ Ketika isteri Abu Wada’ah hendak melangkah, dia tersangkut gaunnya,
sehingga nyaris jatuh, mungkin karena ia malu.
Sedangkan Abu Wada’ah hanya bisa terpaku
didepannya tanpa harus bilang apa, setelah tersadar buru-buru diambilnya piring
berisi roti dan minyak tadi, dia geser kebelakang agar isterinya tidak
melihatnya.
Tak lama kemudian ibunya datang, setelah
melihat isteri Abu Wada’ah, dia berpaling kepada Abu Wada’ah seraya berkata,
“Haram wajahku bagimu kalau engkau tidak membiarkan aku memboyongnya sebagai
pengantin yang terhormat, " Terserah ibulah, aku setuju saja, " jawab
Abu Wada'ah. Maka diboyonglah isterinya itu oleh ibunya. Tiga hari kemudian
isterinya diantarkan kembali kepada Abu Wada'ah. Ternyata isterinya adalah
seorang yang tercantik di Madinah, paling hafal kitabullah, dan paling mengerti
akan soal-soal hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, juga paling
paham hak-hak suami isteri.
Ada saat yang berbahagia bagi Abu Wada'ah
ketika itu ia ingin pergi ke halaqohnya bapak mertuanya untuk menuntut ilmu,
akan tetapi oleh isterinya dicegahlah niatnya, sambil berkata, " Wahai
suamiku hendak kemana dirimu pergi ? maka Abu Wada'ah menjawab mau menghadiri
majelis ilmu bapakmu, maka dengan perkataan lembut isterinya berkata, "
belajarlah bersamaku karena ilmu bapak sebanding dengan ilmuku,......" [3]
subhaanallahu, Allahu Akbar sungguh kisah
pernikahan dua insan anak manusia yang sangat indah untuk dikenang. Maka
berbahagialah bagi para pemuda yang dikaruniai oleh Allah Ta'ala pendamping
hidup yang sholehah seperti itu.
Adakah Abu Wada'ah, Abu Wada'ah
selanjutnya..........?????
Pernikahan Ali dan Fatimah
Fatimah adalah putri termuda Rasulullah
shallallohu ‘alaihi wasallam dan bagian dari beliau dari ibu yang
mulia wanita shalihah Khadijah binti Khuwailid, bersuamikan Ali bin Abu Thalib
yang menikahinya dalam rentang waktu antara perang Badar dan Uhud tepatnya di
bulan Ramadhan tahun kedua hijriyah, seorang pahlawan mujahid sepupu
Rasulullah, orang pertama yang masuk Islam dari kalangan pemuda, seorang
laki-laki yang menyintai Allah dan rasulNya dan dicintai oleh Allah dan
rasulNya, Allah memberi kemenangan melaluinya, Amirul Mukminin salah seorang
khulafa` rasyidin yang dijamin surga oleh mertuanya. Inilah sebagian dari
keutamaan suami pilihan Fatimah putri Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam yang
menjadi acuan baginya dalam memilihnya menjadi suaminya.
Ali bin Abu Thalib hidup
sejak kecil dalam kafalah Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam,
beliau melakukan ini sebagai ungkapan terima kasih kepada bapaknya Abu Thalib
yang juga paman beliau atas pengasuhannya terhadap beliau sejak kecil dan
pembelaannya terhadap beliau ketika dewasa di samping untuk meringankan Abu
Thalib yang berharta minim tetapi berkeluarga besar. Dengan latar belakang
demikian maka bisa dikatakan bahwa Ali bukan laki-laki berharta pada saat dia
menikah dengan Fatimah, demi membayar maskawin kepada istrinya dia menyerahkan
baju perang yang merupakan harta satu-satunya sekaligus senjatanya dalam
menerjuni berbagai macam peperangan.
Imam Abu Dawud dan an-Nasa`i meriwayatkan dari
Ibnu Abbas berkata, ketika Ali menikah dengan Fatimah, Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Berikanlah sesuatu kepadanya.”
–Maksud beliau sebagai mahar pernikahan- Ali menjawab, “Aku tidak punya
apa-apa.” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam
bertanya, “Lalu
di mana baju perang huthamiyah milikmu.” Hadits ini dishahihkan
oleh al-Hakim.
Yang dimaksud baju perang huthamiyah adalah
penisbatan kepada Huthamah bin Muharib, salah satu marga dalam Bani Abdul Qais
pembuat baju perang. Ada yang berkata, baju perang disebut dengan huthamiyah
karena ia tuhatthimu (mematahkan atau menghancurkan) pedang karena kekuatannya.
Selanjutnya bagaimana kehidupan pasangan suami
istri ini? Imam al-Bukhari memaparkan dalam shahihnya sepenggal kisah dari
kehidupan Ali dengan Fatimah. Silakan pembaca menilai dan menyimpulkan setelah
membacanya.
Dari Ali bin Abu Thalib bahwa Fatimah
mengadukan beratnya penggilingan kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam yang
meninggalkan bekas padanya, pada saat itu Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam sedang mendapatkan tawanan perang, Fatimah pergi
kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam tetapi dia tidak bertemu dengan
beliau, dia bertemu Aisyah, Fatimah mengatakan hajatnya kepada Aisyah, ketika
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam pulang Aisyah mengabarkan kedatangan
Fatimah kepada beliau. Ali berkata, “Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam datang
kepada kami sementara kami sedang bersiap-siap untuk tidur, aku hendak berdiri,
tetapi beliau bersabda, “Tetaplah kalian berdua di tempat.” Lalu beliau duduk
di antara kami, sampai aku merasakan dinginnya kedua kaki beliau di dadaku,
beliau bersabda, “Maukah kalian berdua aku ajari apa yang lebih baik dari apa
yang kalian berdua minta kepadaku, jika kalian berdua hendak tidur,
bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali dan
bertahmidlah tiga puluh tiga kali, ia lebih baik bagi kalian berdua daripada
pembantu.”
Al-Bukhari meriwayatkan no. 3110, dari Miswar
bin Makhramah bahwa Ali bin Abu Thalib melamar putri Abu Jahal sementara dia
masih beristri Fatimah, Makhramah berkata, maka aku mendengar Rasulullah
berkhutbah di atas minbarnya ini tentangg masalah tersebut, saat itu aku sudah
dewasa, beliau bersabda, “Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dariku, aku
mengkhawatirkannya difitnah pada agamanya.” Kemudian Nabi menyebutkan hubungan
pernikahan beliau dengan Bani Abdu Syams, beliau menyanjung mereka dalam
hubungan pernikahan tersebut. Beliau bersabda, “Dia berbicara kepadaku dan dia
berbicara benar kepadaku, dia berjanji padaku dan dia memenuhi janji itu.
Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang
haram, akan tetapi demi Allah anak Rasulullah tidak akan pernah berkumpul
dengan anak musuh Allah selamanya.”
Pertama, kesetiaan yang diberikan oleh Ali kepada
Fatimah, faktanya selama hidup Fatimah, Ali hanya beristrikan dia seorang.
Kedua, fadha`il (keutamaan-keutamaan) yang dimiliki
Ali, istri shalihah mana yang tidak berbahagia dan berbangga dengan suami yang
mempunyai fadha`il seperti yang dimiliki oleh Ali.
Ketiga, output (hasil) pernikahan dua orang mulia
ini, empat anak shalih dan shalihah: Hasan, Husain, Zaenab dan Ummu Kultsum.
Dua anak yang pertama adalah dua orang sayid para pemuda penduduk surga, dari
keduanya lahir orang-orang mulia, para imam teladan.
Kisah Pernikahan Bapaknya Abu Hanifah
Anda tentu
mengenal nama Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, salah seorang ulama
besar, dan termasuk salah satu dari imam empat mazhab. Ada kisah menarik,
berkaitan dengan beliau, tetapi kisah ini bermula di saat beliau belum lahir.
Pada abad
pertama hijiriah, terdapat seorang pemuda yang mengabdikan dirinya untuk
menuntut ilmu syar’i, tetapi ia sangat miskin. Suatu hari ketika ia merasa
sangat lapar dan tidak mendapatkan sesuatu apapun yang bisa dimakan. Ia
berusaha mencari makanan di luar rumahnya. Kemudian, ia berhenti di salah satu
kebun yang penuh dengan pepohonan apel, yang salah satu rantingnya menjulur ke
jalan. Karena sangat lapar, ia terdorong untuk memakan apel tersebut, apalagi
ia merasa perlu untuk mempertahankan raganya. Ia juga berpikir bahwa tidak ada
seorangpun yang melihatnya, disamping ia juga merasa bahwa kebun tersebut
tidak akan berkurang dengan sebab satu biji apel saja. Maka, ia beranikan
diri untuk memetik satu buah apel dan memakannya hingga rasa laparnya hilang.
Ketika
beranjak pulang ke rumah, jiwanya mulai mencacinya. Beginilah contoh kondisi
seorang mukmin yang tidak bisa tenang jika telah melakukan pelanggaran. Ia
duduk termenung sambil berkata,
“Bagaimana
aku bisa memakan buah apel itu padahal itu adalah harta seorang muslim, dan aku
belum meminta izin kepadanya?
Akhirnya,
pemuda tersebut pergi mencari pemilik kebun itu sampai didapatkkannya. Lalu, ia
berkata kepada pemilik kebun,
“Wahai
paman, kemarin aku ditimpa rasa lapar yang sangat. Maka, aku memakan satu buah
apel dari kebunmu tanpa sepengetahuanmu. Sekarang aku datang kepadamu untuk
meminta izin kepadamu.”
Pemilik
kebun berkata
“Demi
Allah, Aku tidak memaafkanmu. Bahkan, aku akan menggugatmu kelak pada hari
kiamat di sisi Allah.”
Mendengar
itu, pemuda itu langsung menangis dan memohon kepadanya supaya memperkenankannya,
sambil berkata,
”Saya siap
untuk bekerja apa saja dengan syarat agar kamu memaafkanku dan menghalalkan
apel itu untukku.”
Pemuda itu
terus memohon kepada si pemilik kebun, sedangkan pemilik kebun justru semakin
bersikukuh, lalu pergi meninggalkannya. Namun, pemuda itu membuntutinya dan
tetap memohon maaf kepadanya hingga ia masuk rumah. Pemuda itu menunggu di sisi
pintu, memantinya keluar untuk shalat Ashar. Ketika si pemilik kebun keluar
rumah untuk suatu urusan, pemuda itu ternyata masih tetap berdiri dengan air
mata yang membasahi jenggotnya.
Pemuda itu
berkata lagi,
“Wahai
pamanku, sungguh aku siap untuk bekerja sebagai petani di kebun ini tanpa
diberi upah sepanjang umurku atau apa saja yang kamu inginkan, tetapi dengan
syarat Anda memaafkanku.”
Pada saat
itu, pemilik kebun berpikir sejenak, kemudian berkata,
“Anakku,
aku siap untuk memaafkanmu sekarang, tetapi dengan satu syarat.”
Mendengar
itu, si pemuda langsung gembira adn wajahnya berseri bahagia. Dia berkata,
”Berikanlah
syarat sesukamu wahai pamanku.”
Si pemilik
kebun berkata,
”Syaratku
adalah supaya Kamu menikahi putriku.”
Pemuda itu
terperanjat bukan kepalang mendengar jawaban itu. Dia sama sekali tidak pernah
menyangka mendapat syarat ini. Namun, si pemilik kebun melanjutkan perkataannya,
” Akan
tetapi, wahai anakku, ketahuilah bahwa putriku buta, tuli, bisu, dan juga
lumpuh, tidak pernah berjalan sejak lama. Aku telah mencarikannya seorang
suami yang dapat kupercaya untuk melindungi dan mendampinginya dengan segenap
kriteria-kriteria yang disebutkannya. Apabila Kamu menyetujuinya, aku akan
memaafkanmu.”
Pemuda itu
kembali terperanjat bukan kepalang dan merasa mendapat musibah yang kedua
kalinya. Dia mulai berpikir bagaimana ia akan hidup dengan ketidaksempurnaan
seperti ini, terlebih dia masih berusia belia? Bagaimana istrinya nanti akan
melaksanakan urusan-urusannya, menjaga rumah dan memerhatikannya, sedangkan ia
memiliki kekurangan-kekurangan tersebut?
Dia mulai
memperhitungkan dan berkata,
“Aku akan
bersabar atasnya di dunia agar aku selamat dari petaka apel tersebut.”
Kemudian,
ia berkata kepada pemilik kebun,
“Wahai
paman, aku telah menerima putrimu. Aku memohon kepada Allah semoga Dia
memberiku pahala atas niatku dan memberiku ganti yang lebih baik dari yang
kuterima.”
Pemilik
kebun berkata, “Baiklah anakku, waktumu hari Kamis depan di rumahku untuk pesta
pernikahanmu. Aku yang menanggung maharmu.”
Hari kamis
pun tiba. Pemuda datang dengan langkah berat, batin sedih, dan hati hancur,
tidak seperti layaknya calon pengantin yang pergi menuju hari pernikahannya.
Ketika ia mengetuk pintu, bapak sang wanita membukakannya dan membawanya masuk
ke dalam rumah. Setelah berbicang-bincang, ia berkata kepadanya,
“Anakku,
silahkan masuk kepada istrimu. “Semoga Allah memberkahimu dalam kebahagiaan
dan kesusahanmu, dan mengumpulkan kalian berdua di atas kebaikan.”
Lalu, ia
memegang tangan si pemuda dan membawanya ke kamar putrinya. Ketika si pemuda
membuka pintu dan melihat istrinya, ternyata ia justru mendapati seorang gadis
putih yang sangat cantik, dengan rambut terurai seperti sutra di atas
pundaknya. Istrinya itu langsung bangkit, ternyata ia berperawakan tegak.
Kemudian, ia berjalan ke arah suaminya dan memberinya salam, “Assalamu’alaikum
suamiku…”
Si pemuda
tetap berdiri di tempatnya sambil memerhatikan gadis yang baru ditemuinya itu.
Ia merasa tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Namun,
gadis itu memahami apa yang berputar di benak suaminya. Ia menghampirinya,
menjabat tangannya, dan mencium tangannya, lalu berkata,
“Sesungguhnya
aku adalah buta dari melihat yang haram…”
… bisu
dan tuli dari mendengar hal yang haram …
… dan kedua
kakiku tidak pernah melangkah kepada hal yang haram …
… Aku
adalah anak semata wayang bapakku. Sejak beberapa tahun lalu, bapakku
mencarikanku suami yang shalih. Maka, ketika Kamu datang meminta izin kepadanya
karena satu buah apel dan kamu menangis karenanya, bapakku mengatakan bahwa
barangsiapa takut memakan satu buah apel yang tidak halal baginya, pasti dia
akan lebih takut kepada Allah dalam menjaga putriku, katanya …
Alangkah
bahagianya aku yang telah mendapatkanmu sebagai suami, dan alangkah bahagianya
ayahku dengan nasabmu”
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya
Dia akan memberinya jalan keluar, dan memberinya rizki dari arah yang tidak
disangka-sangka (Ath-Thalaq: 2-3)
Kemudian,
setelah setahun berlalu, sang istri dikaruniani seorang anak hasil hasil benih
yang ditanam pemuda yang termasuk orang-orang langka umat ini. Tahukah Anda
siapakah anak kecil itu? Anak kecil itu adalah Abu Hanifah An-Numan bin
Tsabit, ahli fiqh mazhab Islam yang mahsyur. Ulama besar yang keilmuannya
terpandang di kalangan para bangsawan. Dialah ulama yang karena kewara’annya,
dicambuk oleh Ibnu Hubairah (pegawai pemerintah di bawah Khalifah Bani
Umayyah) sebanyak 110 cambukan karena menolak diangkat sebagai pegawai negeri
dengan jabatan prestisius, Hakim. Dialah ulama yang dipenjara khalifah pertama
Bani Abbasiyah, Abu Ja’far Al-Manshur, karena menolak iming-iming untuk
dijadikan hakim pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar