شكرا على نزولكم و حضوركم في هذا الموقع

Sabtu, 16 November 2013

KISAH-KISAH PERNIKAHAN YANG MENGHARUKAN



 By: Sofyan Hadi As Sasaky, S.Pd.I

 

Umar bin Khaththab Memilih Putri Wanita Penjual Susu Sebagai Istri Bagi Anaknya

Inilah al-Faruq, Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu! Ketika memilih putri wanita penjual susu sebagai istri bagi anaknya, Ashim, dia tidak mempertimbangkan keturunan ataupun nasab sedikit pun, dan tidak pula harta maupun kedudukan. Melainkan pertimbangannya satu-satunya adalah apa yang diperlihatkan oleh gadis baik itu, berupa iman kepada Allah dan selalu merasa diawasi olehNya, ketika sendiri dan ketika di mata umum, serta keyakinan bahwa tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah ‘Azza wa Jalla, hingga ia mencapai tingkatan ihsan dalam ibadahnya padahal dia adalah gadis yang kondisinya menyedihkan, miskin kedudukan dan harta, di mana dia beribadah kepada Allah seolah-olah melihatNya, dan kendati pun dia tidak melihatNya, maka Dia melihatnya.
Suatu malam, al-Faruq radhiallahu ‘anhu memeriksa kondisi rakyat. Tiba-tiba, ia mendengar suara seorang wanita berkata kepada putrinya, “Campurlah susu itu dengan air.”
Gadis itu menjawabnya, “Wahai ibuku! Tidakkah engkau mengetahui apa yang ditekankan Amirul Mukminin?”
Wanita itu berkata, “Apa yang ditekankan olehnya, wahai putriku?”
Dia berkata, “Dia memerintahkan penyerunya untuk berseru, ‘Jangan (mencampur) susu dengan air’.”
Wanita itu berkata, “Campurlah susu itu dengan air, lalu campurlah ia dengan air, sesungguhnya kamu berada di sebuah tempat yang kamu tidak akan dilihat oleh Umar, dan tidak pula penyeru Umar.”
Dengan tangkas gadis itu menyanggah, “Wahai ibuku! Jika Umar tidak tahu, maka sungguh, Rabb Umar mengetahui. Demi Allah! Aku tidak akan menaatiNya di depan umum lalu mendurhakaiNya di kala sendiri.”
Pagi harinya, Umar radhiallahu ‘anhu berkata kepada putranya, Ashim, “Pergilah ke tempat ini, sesungguhnya di sana terdapat seorang gadis. Jika ia tidak sibuk, nikahilah dia. Semoga Allah menganugerahimu kelembutan yang diberkahi darinya.”
Tepat sekali firasat al-Faruq radhiallahu ‘anhu. Ashim menikahi gadis itu dan memberinya anak, Ummu Ashim, yang kemudian dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan dan memberinya anak, Umar bin Abdul Aziz, sang pemimpin yang adil, semoga Allah Ta’ala merahmati dan meridhainya.[1]







Kisah Julaibib dan Pengantin Perempuan

Adalah seorang laki-laki dari sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bernama Julaibib. Wajahnya tidak begitu menarik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menawarinya menikah. Dia berkata (tidak percaya), “Kalau begitu, Anda menganggapku tidak laku?”
Beliau bersabda, “Tetapi kamu di sisi Allah bukan tidak laku.”
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa terus mencari kesempatan untuk menikahkan Julaibib…
Hingga suatu hari, seorang laki-laki dari Anshar datang menawarkan putrinya yang janda kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau menikahinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya,
“Ya. Wahai fulan! Nikahkan aku dengan putrimu.”
“Ya, dan sungguh itu suatu kenikmatan, wahai Rasulullah,” katanya riang.
Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Sesungguhnya aku tidak menginginkannya untuk diriku…”
“Lalu, untuk siapa?” tanyanya.
Beliau menjawab, “Untuk Julaibib…”
Ia terperanjat, “Julaibib, wahai Rasulullah?!! Biarkan aku meminta pendapat ibunya….”
Laki-laki itu pun pulang kepada istrinya seraya berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melamar putrimu.”
Dia menjawab, “Ya, dan itu suatu kenikmatan…”
“Menjadi istri Rasulullah!” tambahnya girang.
Dia berkata lagi, “Sesungguhnya beliau tidak menginginkannya untuk diri beliau.”
“Lalu, untuk siapa?” tanyanya.
“Beliau menginginkannya untuk Julaibib,” jawabnya.
Dia berkata, “Aku siap memberikan leherku untuk Julaibib… ! Tidak. Demi Allah! Aku tidak akan menikahkan putriku dengan Julaibib. Padahal, kita telah menolak lamaran si fulan dan si fulan…” katanya lagi.
Sang bapak pun sedih karena hal itu, dan ketika hendak beranjak menuju Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba wanita itu berteriak memanggil ayahnya dari kamarnya, “Siapa yang melamarku kepada kalian?”
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,” jawab keduanya.
Dia berkata, “Apakah kalian akan menolak perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam?”
“Bawa aku menuju Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh, beliau tidak akan menyia-nyiakanku,” lanjutnya.
Sang bapak pun pergi menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, terserah Anda. Nikahkanlah dia dengan Julaibib.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menikahkannya dengan Julaibib, serta mendoakannya,
“Ya Allah! Limpahkan kepada keduanya kebaikan, dan jangan jadikan kehidupan mereka susah.”
Tidak selang beberapa hari pernikahannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dalam peperangan, dan Julaibib ikut serta bersama beliau. Setelah peperangan usai, dan manusia mulai saling mencari satu sama lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada mereka, “Apakah kalian kehilangan seseorang?” Mereka menjawab, “Kami kehilangan fulan dan fulan…”
Kemudian beliau bertanya lagi, “Apakah kalian kehilangan seseorang?” Mereka menjawab,“Kami kehilangan si fulan dan si fulan…”
Kemudian beliau bertanya lagi, “Apakah kalian kehilangan seseorang?” Mereka menjawab,“Kami kehilangan fulan dan fulan…”
Beliau bersabda, “Akan tetapi aku kehilangan Julaibib.”
Mereka pun mencari dan memeriksanya di antara orang-orang yang terbunuh. Tetapi mereka tidak menemukannya di arena pertempuran. Terakhir, mereka menemukannya di sebuah tempat yang tidak jauh, di sisi tujuh orang dari orang-orang musyrik. Dia telah membunuh mereka, kemudian mereka membunuhnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri memandangi mayatnya, lalu berkata,“Dia membunuh tujuh orang lalu mereka membunuhnya. Dia membunuh tujuh orang lalu mereka membunuhnya. Dia dari golonganku dan aku dari golongannya.”
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membopongnya di atas kedua lengannya dan memerintahkan mereka agar menggali tanah untuk menguburnya.
Anas bertutur, “Kami pun menggali kubur, sementara Julaibib radhiallahu ‘anhu tidak memiliki alas kecuali kedua lengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga ia digalikan dan diletakkan di liang lahatnya.”
Anas radhiallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah! Tidak ada di tengah-tengah orang Anshar yang lebih banyak berinfak daripada istrinya. Kemudian, para tokoh pun berlomba melamarnya setelah Julaibib…”
Benarlah, “Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepadaNya, mereka itu adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.(An-Nur: 52).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda, sebagaimana dalam ash-Shahih,“Setiap umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang engan itu?” Beliau bersabda, “Barangsiapa taat kepadaku, maka ia masuk surga, dan barangsiapa mendurhakaiku berarti ia telah enggan.”[2]

 

Kisah Pernikahan Abu Wada’ah, Menantu Seorang Tokoh Tabiin Sa’id Bin Musayyib

Ini adalah sebuah kisah pernikahan yang sangat indah di jamannya, kisah pernikahan antara puteri seorang ulama besar tokoh tabi’in Madinah yang bernama Al imam Asy-syaikh Sa’id bin Musayyib Rahimahullah dengan seorang pemuda salah satu dari muridnya yang bernama Abu Wada’ah.
 Seorang Syaikh yang dengan berani menolak pinangan Amirul Mukminin Abdul Malik bin marwan yang raja-raja romawi gentar pada wibawanya, untuk dinikahkan dengan putranya yang bernama Al walid bin Abdul Malik.
 Pernah ada seseorang yang bertanya kepadanya,” Mengapa kau tolak pinangan Amirul Mukminin lalu kau nikahkan puterimu dengan orang awam, mengapa ?
Syaikh itupun menjawab : “Puteriku adalah amanat di leherku, maka kupilihkan apa yang sesuai untuk kebaikan dan keselamatan dirinya. “
 “Apa maksud pernyataan itu wahai syaikh, ?” Bagaimana pandangan kalian bila misalnya puteriku pindah di istana Bani Umayyah lalu bergemilang di antara ranjang dan perabotannya? Para pembantu mengelilingi disisi kanan dan kirinya, dan dia mendapati dirinya menjadi isteri dari seorang Khalifah. Bagaimana keteguhan agamanya nantinya ?” jawab syaikh tersebut.
 Inilah seorang Syaikh yang menjadikan dunianya sebagai kendaraan dan perbekalannya untuk akhiratnya. Dia membeli untuk dirinya dan keluarganya akhirat dengan dunianya.
 Abu Wada’ah adalah seorang penuntut ilmu yang gigih dan senantiasa selalu hadir dalam halaqoh Asy-syaikh Sa’id bin Musayyib Rahimahullah di Masjid Madinah Al Munawarah, aku adalah orang yang suka mensikut orang-orang sambil berdesak-desakan dalam majelis tersebut, demi memperoleh ilmu yang disampaikan oleh syaikh Sa’id bin Musayyib Rahimahullah.
 Akan tetapi suatu ketika dalam beberapa hari aku tidak dapat menghadiri halaqoh tersebut karena suatu hal yaitu musibah yang telah datang mengenai keluargaku dengan kematian isteriku. Aku mengurusi semuanya sampai selesai urusan tersebut.
 Hingga Asy-syaikh Sa’id bin Musayyib Rahimahullah mencari kesana kemari, tentang kabar dariku, dan tiada hasil yang beliau dapatkan.
 Setelah aku kembali ke halaqoh ilmunya, maka dengan serta merta, Syaikh tersebut menyapa dan menyalamiku sambil menanyakan kemana perginya selama ini, maka aku menjelaskan hal ihwal tentang keberadaanku selama itu bahwasanya isteriku telah meninggal dunia dan aku sibuk untuk mengurusinya.
 Maka syaikh, berkata, “ Kalau saja engkau memberitahu aku, Yaa Aba Wada’ah, tentunya aku akan menghiburmu, menghadiri jenazahnya, dan membantu segala kesulitanmu.”
 “Terima kasih atas perhatianmu yaa syaikh,” jawab Abu Wada’ah.
Ketika hendak berlalu pulang, Syaikh Sa’id bin Musayyib Rahimahullah mencegahnya dan memintanya untuk menunggu sampai semua orang yang ada di majelis itu pulang, lalu katanya, “ Apakah engkau sudah berfikir untuk beristeri lagi, yaa Aba Wada’ah?”
 “Allah Ta’ala merahmati anda yaa syaikh, siapa gerangan yang mau menikahkan puterinya dengan diriku, sedang aku adalah seorang pemuda yang lahir dalam keadaan yatim dan hidup dalam kefakiran. Yang kumiliki tak lebih dari beberapa dirham saja. “ Kata Abu Wada’ah.
 “Aku akan menikahkanmu dengan puteriku.” Abu Wada’ah menjadi bingung dan terheran-heran, “Anda yaa Syaikh ? Anda hendak menikahkan puteri anda denganku padahal anda sudah tahu persis keadaan diriku seperti apa ?”
 “Ya benar. Bila seorang datang kepada kami dan kami suka kepada agama serta akhlaqnya, maka akan kami nikahkan. Sedangkan engkau dimata kami termasuk orang yang agama dan akhlaqnya kami sukai, “ Jawab syaikh Sa’id bin Musayyib Rahimahullah.
 Lalu Syaikh berpaling kepada orang yang berdekatan dengan kami berdua, kemudian dipanggilnya. Begitu mereka datang dan berkumpul di sekeliling kami, syaikh kemudian bertahmid, dan bersholawat bahkan langsung menikahkan Abu Wada’ah dengan puterinya serta menjadikan tiga dirham yang dimiliki Abu Wada’ah sebagai maharnya. Sejenak Abu Wada’ah terpaku tak tahu harus berkata apa-apa karena heran dan bercampur gembira, kemudian dia bergegas pulang. Saat itu Abu Wada’ah sedang berpuasa hingga dia lupa kalau dirinya berpuasa. Dia berkata pada dirinya sendiri, “ Sungguh keterlaluan engkau ini yaa Aba Wada’ah, apa yang engkau perbuat dengan dirimu ? kepada siapa engkau akan meminjam uang untuk keperluanmu ? kepada siapa pula engkau akan meminta uang itu ?”
 Abu Wada’ah berada dalam keadaan seperti itu sampai waktu maghrib pun tiba. Setelah ia menunaikan kewajibannya, ia duduk untuk menyantap makanannya, yang terdiri dari roti dan minyak. Habis satu dua suapan, mendadak terdengar ketukan dipintunya. Abu Wada’ah bertanya dari dalam, “ Siapa ?”
 “Sa’id “
 Demi Allah, langsung terlintas dalam benaknya setiap nama sa’id yang ia kenal, kecuali Sa’id bin Musayyib, sebab selama 20 tahun orang ini tidak pernah terlihat antara rumahnya dengan masjid nabawi.
 Maka dibukakan pintu rumahnya, di depannya berdiri seorang Imam Asy-syaikh Sa’id bin Musayyib. Dia menduga bahwa Syaikh tersebut menyadari ketergesaannya dalam menikahkan puterinya lalu datang untuk membicarakan hal tersebut kepadanya. Oleh sebab itu Abu Wada’ah segera berkata, “Wahai Aba Muhammad, mengapa engkau tidak menyuruh seseorang saja untuk memanggilku ?”
 “Tidak, engkaulah yang harus didatangi. “
“Penghargaan bagiku ?”
 “Tidak, sebenarnya aku datang untuk masalah penting. “
 “Apa yang engkau kehandaki yaa Syaikh ? Allah merahmati anda. “
 “Sesungguhnya puteriku sudah menjadi isterimu, berdasarkan atas agama ini. Maka aku tidak senang membiarkanmu berada ditempatmu, sedangkan isterimu berada ditempat lain. Oleh sebab itu kubawa dia sekarang, “
 “Anda membawanya kemari ?”
 “Benar. “
 Lalu Abu Wada’ah melihat isterinya itu berdiri di belakang Syaih tersebut. Syaikh kemudian berpaling dan berkata kepada puterinya, “ Masuklah kerumah suamimu dengan nama dan berkah Allah wahai puteriku, “ Ketika isteri Abu Wada’ah hendak melangkah, dia tersangkut gaunnya, sehingga nyaris jatuh, mungkin karena ia malu.
 Sedangkan Abu Wada’ah hanya bisa terpaku didepannya tanpa harus bilang apa, setelah tersadar buru-buru diambilnya piring berisi roti dan minyak tadi, dia geser kebelakang agar isterinya tidak melihatnya.
 Tak lama kemudian ibunya datang, setelah melihat isteri Abu Wada’ah, dia berpaling kepada Abu Wada’ah seraya berkata, “Haram wajahku bagimu kalau engkau tidak membiarkan aku memboyongnya sebagai pengantin yang terhormat, " Terserah ibulah, aku setuju saja, " jawab Abu Wada'ah. Maka diboyonglah isterinya itu oleh ibunya. Tiga hari kemudian isterinya diantarkan kembali kepada Abu Wada'ah. Ternyata isterinya adalah seorang yang tercantik di Madinah, paling hafal kitabullah, dan paling mengerti akan soal-soal hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, juga paling paham hak-hak suami isteri.
 Ada saat yang berbahagia bagi Abu Wada'ah ketika itu ia ingin pergi ke halaqohnya bapak mertuanya untuk menuntut ilmu, akan tetapi oleh isterinya dicegahlah niatnya, sambil berkata, " Wahai suamiku hendak kemana dirimu pergi ? maka Abu Wada'ah menjawab mau menghadiri majelis ilmu bapakmu, maka dengan perkataan lembut isterinya berkata, " belajarlah bersamaku karena ilmu bapak sebanding dengan ilmuku,......" [3]
 subhaanallahu, Allahu Akbar sungguh kisah pernikahan dua insan anak manusia yang sangat indah untuk dikenang. Maka berbahagialah bagi para pemuda yang dikaruniai oleh Allah Ta'ala pendamping hidup yang sholehah seperti itu.
 Adakah Abu Wada'ah, Abu Wada'ah selanjutnya..........?????

 

 

Pernikahan Ali dan Fatimah

Fatimah adalah putri termuda Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam dan bagian dari beliau dari ibu yang mulia wanita shalihah Khadijah binti Khuwailid, bersuamikan Ali bin Abu Thalib yang menikahinya dalam rentang waktu antara perang Badar dan Uhud tepatnya di bulan Ramadhan tahun kedua hijriyah, seorang pahlawan mujahid sepupu Rasulullah, orang pertama yang masuk Islam dari kalangan pemuda, seorang laki-laki yang menyintai Allah dan rasulNya dan dicintai oleh Allah dan rasulNya, Allah memberi kemenangan melaluinya, Amirul Mukminin salah seorang khulafa` rasyidin yang dijamin surga oleh mertuanya. Inilah sebagian dari keutamaan suami pilihan Fatimah putri Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam yang menjadi acuan baginya dalam memilihnya menjadi suaminya.
Ali bin Abu Thalib hidup sejak kecil dalam kafalah Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, beliau melakukan ini sebagai ungkapan terima kasih kepada bapaknya Abu Thalib yang juga paman beliau atas pengasuhannya terhadap beliau sejak kecil dan pembelaannya terhadap beliau ketika dewasa di samping untuk meringankan Abu Thalib yang berharta minim tetapi berkeluarga besar. Dengan latar belakang demikian maka bisa dikatakan bahwa Ali bukan laki-laki berharta pada saat dia menikah dengan Fatimah, demi membayar maskawin kepada istrinya dia menyerahkan baju perang yang merupakan harta satu-satunya sekaligus senjatanya dalam menerjuni berbagai macam peperangan.
Imam Abu Dawud dan an-Nasa`i meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata, ketika Ali menikah dengan Fatimah, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Berikanlah sesuatu kepadanya.” –Maksud beliau sebagai mahar pernikahan- Ali menjawab, “Aku tidak punya apa-apa.” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bertanya, “Lalu di mana baju perang huthamiyah milikmu.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim.
Yang dimaksud baju perang huthamiyah adalah penisbatan kepada Huthamah bin Muharib, salah satu marga dalam Bani Abdul Qais pembuat baju perang. Ada yang berkata, baju perang disebut dengan huthamiyah karena ia tuhatthimu (mematahkan atau menghancurkan) pedang karena kekuatannya.
Selanjutnya bagaimana kehidupan pasangan suami istri ini? Imam al-Bukhari memaparkan dalam shahihnya sepenggal kisah dari kehidupan Ali dengan Fatimah. Silakan pembaca menilai dan menyimpulkan setelah membacanya.
Dari Ali bin Abu Thalib bahwa Fatimah mengadukan beratnya penggilingan kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam yang meninggalkan bekas padanya, pada saat itu Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam sedang mendapatkan tawanan perang, Fatimah pergi kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam tetapi dia tidak bertemu dengan beliau, dia bertemu Aisyah, Fatimah mengatakan hajatnya kepada Aisyah, ketika Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam pulang Aisyah mengabarkan kedatangan Fatimah kepada beliau. Ali berkata, “Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam datang kepada kami sementara kami sedang bersiap-siap untuk tidur, aku hendak berdiri, tetapi beliau bersabda, “Tetaplah kalian berdua di tempat.” Lalu beliau duduk di antara kami, sampai aku merasakan dinginnya kedua kaki beliau di dadaku, beliau bersabda, “Maukah kalian berdua aku ajari apa yang lebih baik dari apa yang kalian berdua minta kepadaku, jika kalian berdua hendak tidur, bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali, ia lebih baik bagi kalian berdua daripada pembantu.”
Al-Bukhari meriwayatkan no. 3110, dari Miswar bin Makhramah bahwa Ali bin Abu Thalib melamar putri Abu Jahal sementara dia masih beristri Fatimah, Makhramah berkata, maka aku mendengar Rasulullah berkhutbah di atas minbarnya ini tentangg masalah tersebut, saat itu aku sudah dewasa, beliau bersabda, “Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dariku, aku mengkhawatirkannya difitnah pada agamanya.” Kemudian Nabi menyebutkan hubungan pernikahan beliau dengan Bani Abdu Syams, beliau menyanjung mereka dalam hubungan pernikahan tersebut. Beliau bersabda, “Dia berbicara kepadaku dan dia berbicara benar kepadaku, dia berjanji padaku dan dia memenuhi janji itu. Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram, akan tetapi demi Allah anak Rasulullah tidak akan pernah berkumpul dengan anak musuh Allah selamanya.”
Pertama, kesetiaan yang diberikan oleh Ali kepada Fatimah, faktanya selama hidup Fatimah, Ali hanya beristrikan dia seorang.
Kedua, fadha`il (keutamaan-keutamaan) yang dimiliki Ali, istri shalihah mana yang tidak berbahagia dan berbangga dengan suami yang mempunyai fadha`il seperti yang dimiliki oleh Ali.
Ketiga, output (hasil) pernikahan dua orang mulia ini, empat anak shalih dan shalihah: Hasan, Husain, Zaenab dan Ummu Kultsum. Dua anak yang pertama adalah dua orang sayid para pemuda penduduk surga, dari keduanya lahir orang-orang mulia, para imam teladan.


Kisah Pernikahan Bapaknya Abu Hanifah

Anda tentu mengenal nama Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, salah seorang ulama besar, dan termasuk salah satu dari imam empat mazhab. Ada kisah menarik, berkaitan dengan beliau, tetapi kisah ini bermula di saat beliau belum lahir.
Pada abad pertama hijiriah, terdapat seorang pemuda yang mengabdikan dirinya untuk menuntut ilmu syar’i, tetapi ia sangat miskin. Suatu hari ketika ia merasa sangat lapar dan tidak mendapatkan sesuatu apapun yang bisa dimakan. Ia berusaha mencari makanan di luar rumahnya. Kemudian, ia berhenti di salah satu kebun yang penuh dengan pepohonan apel, yang salah satu rantingnya menjulur ke jalan. Karena sangat lapar, ia terdorong untuk memakan apel tersebut, apalagi ia merasa perlu untuk mempertahankan raganya. Ia juga berpikir bahwa tidak ada seorangpun yang melihatnya, disamping ia juga merasa bahwa kebun tersebut tidak akan berkurang dengan sebab satu biji apel saja. Maka, ia beranikan diri untuk memetik satu buah apel dan memakannya hingga rasa laparnya hilang.
Ketika beranjak pulang ke rumah, jiwanya mulai mencacinya. Beginilah contoh kondisi seorang mukmin yang tidak bisa tenang jika telah melakukan pelanggaran. Ia duduk termenung sambil berkata,
“Bagaimana aku bisa memakan buah apel itu padahal itu adalah harta seorang muslim, dan aku belum meminta izin kepadanya?
Akhirnya, pemuda tersebut pergi mencari pemilik kebun itu sampai didapatkkannya. Lalu, ia berkata kepada pemilik kebun,
“Wahai paman, kemarin aku ditimpa rasa lapar yang sangat. Maka, aku memakan satu buah apel dari kebunmu tanpa sepengetahuanmu. Sekarang aku datang kepadamu untuk meminta izin kepadamu.”
Pemilik kebun berkata
“Demi Allah, Aku tidak memaafkanmu. Bahkan, aku akan menggugatmu kelak pada hari kiamat di sisi Allah.”
Mendengar itu, pemuda itu langsung menangis dan memohon kepadanya supaya memperkenankannya, sambil berkata,
”Saya siap untuk bekerja apa saja dengan syarat agar kamu memaafkanku dan menghalalkan apel itu untukku.”
Pemuda itu terus memohon kepada si pemilik kebun, sedangkan pemilik kebun justru semakin bersikukuh, lalu pergi meninggalkannya. Namun, pemuda itu membuntutinya dan tetap memohon maaf kepadanya hingga ia masuk rumah. Pemuda itu menunggu di sisi pintu, memantinya keluar untuk shalat Ashar. Ketika si pemilik kebun keluar rumah untuk suatu urusan, pemuda itu ternyata masih tetap berdiri dengan air mata yang membasahi jenggotnya.
Pemuda itu berkata lagi,
“Wahai pamanku, sungguh aku siap untuk bekerja sebagai petani di kebun ini tanpa diberi upah sepanjang umurku atau apa saja yang kamu inginkan, tetapi dengan syarat Anda memaafkanku.”
Pada saat itu, pemilik kebun berpikir sejenak, kemudian berkata,
“Anakku, aku siap untuk memaafkanmu sekarang, tetapi dengan satu syarat.”
Mendengar itu, si pemuda langsung gembira adn wajahnya berseri bahagia. Dia berkata,
”Berikanlah syarat sesukamu wahai pamanku.”
Si pemilik kebun berkata,
”Syaratku adalah supaya Kamu menikahi putriku.”
Pemuda itu terperanjat bukan kepalang mendengar jawaban itu. Dia sama sekali tidak pernah menyangka mendapat syarat ini. Namun, si pemilik kebun melanjutkan perkataannya,
” Akan tetapi, wahai anakku, ketahuilah bahwa putriku buta, tuli, bisu, dan juga lumpuh, tidak pernah berjalan sejak lama. Aku telah mencarikannya seorang suami yang dapat kupercaya untuk melindungi dan mendampinginya dengan segenap kriteria-kriteria yang disebutkannya. Apabila Kamu menyetujuinya, aku akan memaafkanmu.”
Pemuda itu kembali terperanjat bukan kepalang dan merasa mendapat musibah yang kedua kalinya. Dia mulai berpikir bagaimana ia akan hidup dengan ketidaksempurnaan seperti ini, terlebih dia masih berusia belia? Bagaimana istrinya nanti akan melaksanakan urusan-urusannya, menjaga rumah dan memerhatikannya, sedangkan ia memiliki kekurangan-kekurangan tersebut?
Dia mulai memperhitungkan dan berkata,
“Aku akan bersabar atasnya di dunia agar aku selamat dari petaka apel tersebut.”
Kemudian, ia berkata kepada pemilik kebun,
“Wahai paman, aku telah menerima putrimu. Aku memohon kepada Allah semoga Dia memberiku pahala atas niatku dan memberiku ganti yang lebih baik dari yang kuterima.”
Pemilik kebun berkata, “Baiklah anakku, waktumu hari Kamis depan di rumahku untuk pesta pernikahanmu. Aku yang menanggung maharmu.”
Hari kamis pun tiba. Pemuda datang dengan langkah berat, batin sedih, dan hati hancur, tidak seperti layaknya calon pengantin yang pergi menuju hari pernikahannya. Ketika ia mengetuk pintu, bapak sang wanita membukakannya dan membawanya masuk ke dalam rumah. Setelah berbicang-bincang, ia berkata kepadanya,
“Anakku, silahkan masuk kepada istrimu. “Semoga Allah memberkahimu dalam kebahagiaan dan kesusahanmu, dan mengumpulkan kalian berdua di atas kebaikan.”
Lalu, ia memegang tangan si pemuda dan membawanya ke kamar putrinya. Ketika si pemuda membuka pintu dan melihat istrinya, ternyata ia justru mendapati seorang gadis putih yang sangat cantik, dengan rambut terurai seperti sutra di atas pundaknya. Istrinya itu langsung bangkit, ternyata ia berperawakan tegak. Kemudian, ia berjalan ke arah suaminya dan memberinya salam, “Assalamu’alaikum suamiku…”
Si pemuda tetap berdiri di tempatnya sambil memerhatikan gadis yang baru ditemuinya itu. Ia merasa tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Namun, gadis itu memahami apa yang berputar di benak suaminya. Ia menghampirinya, menjabat tangannya, dan mencium tangannya, lalu berkata,
“Sesungguhnya aku adalah buta dari melihat yang haram…”
bisu dan tuli dari mendengar hal yang haram
… dan kedua kakiku tidak pernah melangkah kepada hal yang haram …
… Aku adalah anak semata wayang bapakku. Sejak beberapa tahun lalu, bapakku mencarikanku suami yang shalih. Maka, ketika Kamu datang meminta izin kepadanya karena satu buah apel dan kamu menangis karenanya, bapakku mengatakan bahwa barangsiapa takut memakan satu buah apel yang tidak halal baginya, pasti dia akan lebih takut kepada Allah dalam menjaga putriku, katanya …
Alangkah bahagianya aku yang telah mendapatkanmu sebagai suami, dan alangkah bahagianya ayahku dengan nasabmu”
 “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar, dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka (Ath-Thalaq: 2-3)
Kemudian, setelah setahun berlalu, sang istri dikaruniani seorang anak hasil hasil benih yang ditanam pemuda yang termasuk orang-orang langka umat ini. Tahukah Anda siapakah anak kecil itu? Anak kecil itu adalah Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit, ahli fiqh mazhab Islam yang mahsyur. Ulama besar yang keilmuannya terpandang di kalangan para bangsawan. Dialah ulama yang karena kewara’annya, dicambuk oleh Ibnu Hubairah (pegawai pemerintah di bawah Khalifah Bani Umayyah) sebanyak 110 cambukan karena menolak diangkat sebagai pegawai negeri dengan jabatan prestisius, Hakim. Dialah ulama yang dipenjara khalifah pertama Bani Abbasiyah, Abu Ja’far Al-Manshur, karena menolak iming-iming untuk dijadikan hakim pula.


[1] Sumber: “90 Kisah Malam Pertama”, Abdul Muththalib Hamd Utsman,Pustaka Darul Haq

[2] Sumber: Abu Thalhah Andri Abdul Halim, di nukil dari, “90 Kisah Malam Pertama”karya Abdul Muththalib Hamd Utsman, edisi terjemah cet. Pustaka Darul Haq Jakarta

[3]  Siyar A’lamin Nubala`, 4/233-234

Tidak ada komentar: